Minggu, 07 Oktober 2012

the Contracts of Sharia Business and Its Application on Sharia Banks

Sharia economic system has been known by Moslems a longtime ago. However, nowadays sharia economic system has been known by all people, not only by moslems but also by all economic actors all around the world who had been acknowledged it. Now, many people begin to doing some study over Sharia economic system that can be considered as a substitute of conventional economic system because the later less able to control the rampant crisis now.
Before we study further about sharia economic system we have to know that it have some akad in doing economic activities. Then what is akad? And what are those akad in sharia economic?
In Islamic law, akad means “a combination or pooling of supply (IJab) and acceptance (qabul)” which is valid according to Islamic law. Consent is a quote from the first, while qabul is acceptance of the offer mentioned by the first party.
In sharia economy there are some principles that later split into several contacts, those principles are:
1.      Profit and Loss Sharing
There are two kind of akad (contract) below this principle,
a.       Musyarakah (Joint Venture Profit Sharing)
Through this contract, two or more parties (including banks and financial institutions with customer) can collect their capital to form a corporation (shirkah al inan) as a legal entity.
Jadi setiap pihak mendapatkan proporsi tertentu dalam mendapat keuntungan atau mendapat tanggung jawab menanggung kerugian serta mendapat hak untuk mengawasi perusahaan sesuai dengan besar modal awal yang ia berikan.
b.      Mudharabah (Thrustee Profit Sharing)
In mudharabah, a contractual relationship is between the providers of funds (shahibul maal) and entrepreneur (mudharib). In this contract, a mudharib (can be individual, a company or a household economic units, including the banks)to raise capital from other economic unit for the purpose of trafficking.
Mudharib dalam kontrak ini menjadi trustee atas modal tersebut. Jika pryek selesai, mudharib akan mengembalikan modal tersebut kepada penyedia modal berikut porsi keuntungan yang telah disetujui sebelumnya.
Ada  2  tipe mudharabah, yaitu:
a.       Mudharabah Mutlaqah: pemilik dana memberikan keleluasaan penuh kepada pengelola untuk menggunakan dana tersebut dalam usaha yang dianggapnya baik dan menguntungkan. Pengelola bertanggung jawab untuk mengelola usaha sesuai dengan praktek kebiasaan usaha yang sehat (uruf).
b.      Mudharabah Muqayyadah: pemilik dana menentukan syarat dan pembatasan kepada pengelola dalam penggunaan dana tersebut dengan jangka waktu, tempat, jenis usaha dan sebagainya.
2.      Prinsip Jual-Beli
Pengertian jual beli meliputi berbagai akad pertukaran (exchange contract) antara suatu barang dan jasa dalam jumlah tertentu atas barang dan jasa lainnya. Penyerahan jumlah atau harga barang dan jasa tersebut dapat dilakukan dengan segera (cash and carry) ataupun secara tangguh (deferred). Daam hukum ekonomi islam telah diidentifikasi dan diuraikan macam macam jual-beli. Berdasarkan barang yang dipertukarkan jual beli terbagi 4 macam:
a.       Bai’ al Muthlaqah yaitu pertukaran antara barang atau jasa dengan uang. Uang berperan sebagai alat tukar. Dalam ekonomi islam sampai sekarang masih terjadi perdebatan mengenai uang sebagai alat tukar dalam kegiatan jual-beli. setiap mata uang memiliki nilai kurs yang berbeda. perbedaan kurs mata uang ini yang dianggap menyalahi hukum islam. miaslnya nilai USD dengan Rupiah, jika seseorang membeli sebuah barang yang harganyya Lima Ratus Ribu Rupiah maka dengan uang rupiah ia harus membayar sebesar harga tersebut namun jika orang Amerika yang membayar dengan dollar ia hanya membayar sebesar 50 USD saja (anggap 1 USD = Rp 10,000)
b.   Ba’I al muqayyadah yaitu jualbeli dimana pertukaran terjadi antara barang dengan barang (barter).
c.       Bai’ Al sharf yaitu jual-beli atau pertukaran antara satu mata uang asing dengan mata uang asing lain.
d.      Bai’ as salam adalah akad jual-beli dimana pembeli membayar uang (sebesar harga) barang yang telah disebutkan spesifikasinya, sedangkan barang yang diperjualbelikan itu akan diserahkan kemudian, yaitu pada tanggal yang disepakati. Bai’ as salam biasanya dilakukan untuk produk-produk pertanian jangka pendek.
Sedangkan pembagian jual-beli berdasarkan harganya terbagi 4 macam:
a.  Bai’ al murabahah adalah akad jual-beli barang tertentu. Dalam transaksi tersebut penjual menyebutkan dengan jelas barang yang diperjualbelikan termasuk keuntungan dan keuntungan yang diambil.
b.      Bai’ al muwadha’ah yaitu jual beli diamana penjual melakukan penjualan dengan harga yang lebih rendah daripada harga pasar atau dengan potongan (discount). Penjualan semacam ini biasanya hanya dilakukan untuk barang-barang yang nilai bukunya sudah sangat rendah.
c.    Bai’ al musawamah yaitu jual beli dimana tidak memberitahukan harga pokok dan keuntungan yang didapatnya.
d.   Bai’ al tauliyah yaitu jual beli dimana penjual melakukan penjualan yang sama dengan harga pokok barang.
e.     Bai’ al istishna yaitu kontrak jual beli dimana harga atas barang tersebut dibayar lebih dulu tapi dapat diangsur sesuai dengan jadwal dan syarat-syarat yang disepakati bersama, sedangkan barang yang dibeli diproduksi dan diserahkan kemudian.
3.      Prinsip sewa dan Sewa-Beli Sewa (Ijarah) oleh para ulama dianggap sebagai model pembiayaan yang dibenarkan oleh syariah islam. Model ini secara konvensional dikenal sebagai operating lease dan financing ease. Al ijarah atau sewa adalah kontrak yang melibatkan suatu batang (sebagai harga) dengan jasa atau manfaat atas barang lainnya. Penyewa dapat juga diberi opsi untuk memiliki barang yang disewakan tersebut pada saat sewaselesai, dan kontrak ini disebut al ijarah wa iqtina atau al ijarah muntahiyah bi tamlik diamana akad sewa yang terjadi antara bank (sebagai pemilik barang) dengan nasabah (sebagai penyewa) dengan cicilan sewanya sudah termasuk cicilan pokok harga barang.
4.      Prinsip Qard
Qard adalah meminjamkan harta kepada orang lain tanpa mengharap imbalan. Secara syariah peminjam hanya berkewajiban membayar kembali pokok imbalannya, walaupun syariah membolehkan peminjam untuk memberikan imbalan sesuai dengan keikhlasannya, tetapi pemberi pinjaman sama sekali dilarang untuk meminta imbalan apapun.
5.      Wadi’ah adalah akad antara pemilik barang (mudi’) dengan penerima titipan (wadi) untuk menjaga harta/modal dari kerusakan atau kerugian dan untuk keamanan harta. Ada 2 tipe wadi’ah:
a.       Wadi’ah Yad amanah, akad titipan dimana penerima titipan (custodian) adala penerima kepercayaan (trustee), artinya ia tidak diharuskan mengganti segala risiko kehilangan atau kerusakan yang terjadi pada asset titipan, dibawah prinsip yad amanah ini asset dari setiap pemilik harus dipisahkandan asset tersebut tidak boleh dipergunakan dan custodian tidak berhak untuk memanfaatkan asset titipan tersebut.
b.      Wadi’ah Yad Dhamanah, akad titipan dimana penerima titipan (custodian) adalah trustee yang sekaligus penjamin keamanan asset yang dititpkan. Penerima simpanan bertanggung jawab penuh atas segala kehilangan atau kerusakan yang terjadi pada asset titipan tersebut.
Berikut contoh implementasi akad dalam bank syariah:
1.      Giro (Al Wadi’ah)
a.       Keamanan dana
b.      Pengalokasian harta berdasarkan syariah
c.       Bonus
2.      Deposito (Al Mudharabah)
a.       Keamanan dana
b.      Pengalokasian harta berdasarkan syariah
c.       Bagi hasil yang dapat diperhitungkan harian
3.      Penyetor zakat, infaq dan shadaqah (Al Wakalah)
a.       Keamanan dana
b.      Pengalokasian harta
c.       Laporan pemanfaatan dana ZIS
4.      Penerimaan pembiayaan Musyarakah (Al Musyarakah)
a.       Dana/modal kerja, modal barang dagangan
b.      Bagi hasil
5.      Pembeli jual jadi (Al Murabahah)
Barang, modal, bahan baku, peralatan
6.       Pembeli bayar tangguh (deferred sale) (Al Bai’u Bistaman Ajil)
Kemudahan Angsuran
7.       Pembeli terima tangguh (Bistaman salam)
Barang, modal, bahan baku, peralatan

8.      Pembeli pesanan (Bai’u isti’na)
Barang, modal, bahan baku, peralatan

9.       Kontrak pembelian Berkala (Bai’u Istijar)
Barang jadi, bahan baku, peralatan
10.   Sewa (Al Ijarah)
a.       Dana
b.      Bagi hasil
11.  Sewa beli (leasing ending with ownership) (Al Bai’u al Takjiri)
Pemanfaatan barang berakhir dengan kepemilikan
12.  Jual beli valuta asing (Al Sarf)
Mata uang
13.  Penerima jaminan (Al Dhamanah)
Bank Garansi
14.   Kebutuhan kredit pembiayaan kebajikan (Al Qardhul Hasan)
Dana, bimbingan Manajemen


Kesimpulan yang dapat diambil dari penjelasan dia atas adalah bahwa dalam bisnis syariah terdapat berbagai macam akad yang dapat digunakan dalam berbagai kegiatan bisnis sehari-hari serta jelas hukumnya. Dengan akad yang jelas perolehan hak dalam suatu bisnis dapat diserahkan pada pihak yang benar.


Referensi:
Anwar, S.2007. Hukum Perjanjian Syariah Studi tentang Teori Akad dalam Fikih Muamalat. Jakarta: Rajawali Pers.
Muhammad. 2002. Manajemen Bank Syariah. Yogyakarta: UPP AMP YKPN
Purnamasari, Irma dan Suswinarno. 2011. Akad Syariah. Bandung: Penerbit Kaifa PT Mizan Pustaka
.



   





Tidak ada komentar:

Posting Komentar